Minggu, 24 Januari 2010

Foto

Akankah keajaiban terjadi padaku di Natal tahun ini? Aku seorang ayah yang dibenci oleh putraku sendiri karena aku meninggalkan dia dan istriku beberapa tahun silam. Saat itu putraku masih berusia 3 tahun. Aku melakukan kesalahan fatal dengan berselingkuh dan berniat menikahi selingkuhanku itu. Namun, gadis yang menjadi tambatan hatiku malah menikah dengan pria lain yang kaya raya. Aku tahu, ini adalah hukuman dari Tuhan karena telah menyia-nyiakan keluarga yang telah Dia berikan.

Sejak itu aku berusaha meminta maaf pada istri dan putraku. Istriku memaafkanku tapi putraku tak pernah mau bertemu denganku bahkan sekali. Sekarang dia sudah berusia 10 tahun. Dia sudah jadi anak yang tampan dan pandai. Ibunya bilang dia selalu mendapat juara kelas, patuh pada orangtua dan tidak pernah menyulitkan. Namun dia membenci satu kenyataan, dia tumbuh semakin mirip denganku. Tentu saja hal ini sangat membuatku terluka, tapi aku sadar, aku yang membuat semuanya jadi begini. Aku hanya bisa memantau perkembangan putraku lewat foto dan kadang aku mengintip-intip dia saat di sekolah.

Kapankah dia akan memaafkan aku? Aku memang ayah yang layak dibenci tapi aku telah bertobat, aku ingin kembali bersatu dengan keluargaku… tapi aku juga tak memaksa, aku juga tahu diri. Apalagi sekarang aku terbaring di rumah sakit dengan kanker menggerogoti badanku. Ajalku sudah dekat. Sebelum aku mati, aku ingin mendapatkan maaf dari putraku satu-satunya. Istriku menyuruhku mencoba menulis surat, dia akan membantuku membujuk putraku membacanya.

Kuraih kertas dan pena, kutulis kata demi kata maaf dan penyesalanku. Kusampaikan betapa inginnya aku bertemu dengannya meski hanya sekali saja sebelum hidupku berakhir.

“Nak, maafkan ayah. Ayah tahu betapa kamu membenci ayah. Apa yang telah ayah lakukan telah membuat kamu dan ibumu menderita. Maafkan ayah. Ayah menyesal telah melakukan semua itu terhadap kalian. Ayah hanya berharap, kamu bisa memaafkan ayah. Ayah ingin bisa melakukan tugas dan tanggung jawab ayah padamu. Ayah ingin kamu merasakan bagaimana rasanya punya ayah. Kalau kamu memaafkan ayah, pada hari Natal, ayah tunggu kamu di Kebun Binatang. Ayah akan tunggu dari jam 1 siang dan akan terus menunggu sampai kamu datang… Dengan Cinta, AYAH.”

Akhirnya, hari yang kutunggu tiba. Sejak jam 12 aku telah ada di Kebun Binatang, kegairahan dan harapan membuatku datang lebih cepat. Aku duduk di bangku yang ada di dekat loket tiket. Aku makan siang disana, menunggu putraku datang. Apakah dia akan datang?

Jam demi jam berlalu, sekarang sudah jam 4 sore. Belum ada tanda-tanda kedatangan putraku. Semangat dan harapanku mulai pupus perlahan. Kepalaku mulai pusing karena kelelahan. Tapi aku belum menyerah, hari masih terang. Mungkin sebentar lagi putraku datang. Kupandangi foto putraku dengan penuh kasih sayang. Membayangkan dia tersenyum padaku seperti di foto itu.

“Ayaahhh….,” kudengar suara putraku sayup-sayup.

Kutegakkan kepalaku dan kulihat pemandangan yang selama ini ingin kulihat. Putraku, Bryan berlari ke arahku sambil melambaikan tangan diikuti istriku di belakangnya. Mereka berdua tersenyum. Aku bangkit berdiri dan menyambut mereka dengan pelukan. Hatiku sangat bahagia. Kami bertiga bergegas membeli tiket dan masuk ke dalam Kebun Binatang. Bryan berjalan di antara aku dan istriku, dia menggandeng tangan kami. Terlihat begitu gembira. Dia melihat binatang-binatang yang ada dengan penuh antusias dan rasa ingin tahu. Aku menjawab seluruh pertanyaannya sampai dia puas. Ternyata begini rasanya menjadi seorang ayah. Bodohnya aku pernah mencoba meninggalkan kebahagiaan seperti ini.

“Ayah, Bryan sayang ayah…,” kata Bryan mengecup pipiku.

Aku terbangun. Rupanya itu hanyalah mimpi. Mimpi yang seolah nyata. Rupanya aku tertidur di bangku tempatku menunggu sejak siang. Hari sudah mulai gelap. Rasanya kesadaranku mulai menghilang sampai kurasakan sebuah tangan kecil mengguncang bahuku.

“Ayah? Ayah kenapa?”

Kubuka mataku, samar-samar kulihat bayangan seorang anak kecil dan seorang wanita. Itu adalah Bryan dan istriku. Wajah mereka terlihat cemas.

“Bryan…? I… ini bukan mimpi?” tanyaku. Suaraku terdengar begitu parau.

“Bukan ayah, ini aku… ayah pucat sekali. Maaf aku telah membuat ayah menunggu lama.”

“Tak apa-apa, nak. Kamu… sudah… datang…,” nafasku mulai sesak. Apakah ajalku telah tiba? Tuhan kumohon berikan aku sedikit lagi waktu, “Kamu… sudah maafkan ayah…?”

Bryan mengangguk, “Iya ayah…”

Aku berusaha menegakkan tubuhku dibantu oleh istriku. Kuminta mereka duduk disampingku. Kupanggil petugas kebun binatang untuk memotret kami bertiga. Selama ini kami tak punya foto keluarga. Kusandarkan kepalaku di bahu istriku, sebelah tanganku memeluk putraku. Kesadaranku mulai hilang tapi aku harus bertahan.

Sebentar lagi, Tuhan. Beri aku waktu sebentar lagi.

“Siap, 1… 2… 3… cheese,” ujar petugas kebun binatang yang memotret kami.

Aku bahagia. Aku telah bersatu dengan keluargaku lagi. Kupandangi mereka dengan senyum sebelum kesadaranku benar-benar hilang dan kuhembuskan nafas terakhirku.

Terimakasih telah memaafkan aku. Maaf bila aku lagi-lagi harus meninggalkan kalian. Paling tidak, foto ini akan menjadi bukti bahwa kita adalah keluarga bahagia. Selamat tinggal keluargaku tercinta. Aku akan terus mengawasi kalian di atas bintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar