Minggu, 24 Januari 2010

Piet Hitam

Piet Hitam
author: Yuki Aikawa

Sejak aku kecil, mama selalu bilang padaku…
“Molly, jangan nakal ya… kalau tidak, nanti kamu diculik Piet Hitam di malam Natal”.

Sekarang aku sudah berumur 10 tahun dan aku masih percaya bahwa Piet Hitam itu ada. Makanya aku selalu menurut pada orang tua, patuh pada guru dan berusaha menjadi anak baik supaya tidak diculik oleh Piet Hitam. Rani pernah bilang, sepupunya pernah diculik oleh Piet Hitam 2 tahun lalu karena mencuri tabungan milik kakaknya.

Seperti apa ya wujud Piet Hitam? Kata mama dan Rani, Piet Hitam itu mengerikan. Seluruh tubuhnya berwarna hitam, termasuk wajahnya! Dia memakai jubah hitam keemasan dan memanggul karung di pundaknya. Konon, karung itulah tempat dia membawa anak-anak nakal di seluruh dunia! Kata Rani, gigi Piet hitam seperti vampir, memiliki taring yang tajam. Hanya anak-anak nakal saja yang pernah melihatnya.

Oh ya, Rani itu teman sekelasku. Dia anak yang pandai, punya banyak cerita yang menarik. Aku suka sekali mendengar cerita-ceritanya. Dia duduk di sebelahku di kelas dan kami berdua seringkali menghabiskan istirahat siang di taman belakang sekolah. Sambil berteduh di bawah pohon rindang, kami makan siang bersama dan saling bertukar cerita. Kadang-kadang teman sekelas kami yang lain ikut bergabung. Hari ini Derry dan Kai ikut makan siang bersama kami, seperti halnya aku, mereka juga sangat menyukai cerita-cerita Rani.

“Tahu tidak, tiap seminggu sebelum Natal, Piet Hitam selalu berkeliling mencari-cari anak yang nakal,” kata Rani dengan sikap misterius.

“Masa sih? Kamu tahu darimana?” tanya Derry penasaran.

“Karena setiap malam itu, hujan badai turun! Suara geledek menyelimuti langit!” jawab Rani.

“Berarti kalau ada anak yang akan diculik, bakalan ada hujan badai dong?” tanya Kai.

“Iya. Itu terjadi 2 tahun lalu saat sepupuku diculik Piet Hitam!” jawab Rani lagi.

“Tapi akhirnya sepupumu dikembalikan oleh Piet Hitam, kan?” tanyaku.

Rani menatapku dengan serius.

“Benar. Tapi dia kembali dengan perbedaan yang drastis! Awalnya dia begitu nakal, tapi sekarang dia jadi anak yang sangat pendiam. Bisa dibilang kutu buku!”

Aku, Derry dan Kai terkesiap mendengarnya. Di otak kami masing-masing membayangkan apa yang dialami oleh sepupu Rani sampai berubah sedrastis itu. Pasti Piet Hitam benar-benar menakutkan.

“Kalian sadar tidak? Besok… tepat 1 minggu sebelum Natal, lho!” ujar Rani mengejutkan kami, “Apakah kalian melakukan kenakalan selama seminggu ini? Kalau iya, siap-siap saja menyambut Piet Hitam!”

Tiba-tiba Derry bangkit berdiri dan memaki Rani.
“Omong kosong!! Piet Hitam tak mungkin ada. Itu pasti hanya cerita karanganmu saja, kan!” bentak Derry.

“Aku tidak bohong. Sepupuku buktinya!” balas Rani.

“Cih…” Derry berlari kembali ke kelas dengan gusar.

Kami bertiga hanya menatapnya heran. Kai bilang, Derry baru saja mengusili guru biologi kami dengan memasukkan cacing tanah ke botol minumannya.

“Kalau begitu, besok kita harus awasi Derry…,” kata Rani pelan.

---

Pagi ini cuaca cerah, libur sekolah sudah dimulai. Mudah-mudahan saja terus begini, jadi tandanya Piet Hitam takkan datang menculik Derry. Meski kadang Derry usil, tapi dia anak yang baik. Dia pernah memapahku ke ruang kesehatan waktu aku terluka.

Sampai sore hari semuanya terasa damai dan tenang. Seolah cerita mengenai Piet Hitam tak pernah ada. Aku sedang bermain ayunan di halaman rumah bersama Rani. Dia sering main dirumahku saat libur. Sama sekali tak ada pembahasan soal Piet Hitam meluncur dari bibir kami sampai Kai tiba-tiba datang berlari ke arah kami.

“Rani! Molly! Derry menghilang!” teriak Kai terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat. Sepertinya dia telah berlari cukup jauh.

“Apa?! HILANG?!” aku dan Rani berteriak bersamaan.

“Iya. Tadi aku ke rumahnya, mau mengajaknya main bola. Hh.. hh… Tapi Derry nggak ada! Hh.. hh.. Mamanya juga bingung, katanya sudah sejak siang Derry pergi dan sampai sekarang belum juga pulang!” jelas Kai sambil mengatur napas.

“Tapi, langit cerah. Berarti bukan Piet Hitam yang menculiknya,” kataku.

Aku terlalu cepat bicara, tiba-tiba geledek menggelegar. Hujan mulai turun. Semakin lama semakin deras. Ketegangan mulai menguasai kami. Teman kami diculik Piet Hitam!!

“Anak-anak, cepat masuk ke dalam rumah. Sepertinya akan ada hujan badai!” panggil mamaku dari dalam rumah.

Kami bertiga bergegas masuk ke rumah. Mama menelepon orangtua Rani dan Kai supaya mereka tidak cemas.

“Mama, teman kami diculik Piet Hitam!” aku tak tahan untuk melapor ke mama.

“Oh ya? Siapa?” tanya mama tenang.

“Derry. Kemarin dia iseng memasukkan cacing tanah ke botol minum guru kami. Sekarang dia menghilang! Pasti dia diculik Piet Hitam!” kataku disetujui oleh Rani dan Kai. Kami bertiga mulai menangis.

“Derry itu anak yang baik, tante. Dia selalu membantu kalau kami sedang susah. Sekali-sekali iseng kan nggak salah… hiks,” kata Rani terisak.

Mamaku hanya tersenyum mendengarkan kami menangis, sepertinya mama menahan tawa.

“Iya tante. Lagipula, guru kami itu memang menyebalkan. Jadi tak ada salahnya sekali-sekali diberi pelajaran seperti itu…” ujar Kai.

“Molly nggak mau Derry jadi kutu bukuuuuu…,” raungku.

Tawa mama meledak, membuat kami sangat kebingungan. Kok temanku hilang malah ditertawakan?

“Maafkan mama. Mama nggak sangka kalian masih begitu mempercayai kisah Piet Hitam. Mama pikir kalian sudah tahu kalau sebenarnya Piet Hitam itu baik,” kata mama.

“Jadi, Piet Hitam itu nggak pernah menculik anak nakal?” tanya Rani kaget.

“Iya, Piet Hitam justru membantu Santa membagikan hadiah…,” mama menjelaskan.

“Lalu sepupuku dulu diculik siapa?” tanya Rani lagi.

“Dia bukan diculik, tapi dikirim ke sekolah musim dingin sama tantemu,” jawab mama tertawa, "sepertinya kakak sepupumu itu hanya bergurau menceritakan soal Piet Hitam itu."

“Lalu Derry kemana?” tanya Kai.

“Kalau itu tante nggak tahu, tapi tante yakin… bukan diculik Piet Hitam.”

“KRIINGG…” telepon rumahku berbunyi. Mama segera mengangkatnya. Ternyata Derry yang menelepon.

Rupanya Derry ketiduran di rumah pohon yang ada di belakang rumahnya sampai geledek membangunkannya. Bukan diculik Piet Hitam seperti ketakutan kami.

Aku merajuk pada mamaku yang telah membuatku percaya sedemikian rupa bahwa Piet Hitam itu jahat.
“Kenapa sih mama bohong padaku?” tanyaku ngambek.

Mama menatapku lalu mengusap kepalaku, “Supaya kamu jadi anak baik seperti sekarang…”



TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar